Pembangunan Sosial dan Kesehatan Mental Penumpang Stasiun Manggarai

Media Muda Mengabdi — Belakangan ini, publik diramaikan dengan berita padatnya pergerakan penumpang di Stasiun Manggarai, Jakarta, terutama pada jam masuk dan pulang kerja.
Viral berita ini begitu luar biasa, apalagi ditambah kabar ada pekerja yang terpaksa mengundurkan diri dari kantornya, daripada setiap hari harus berjuang di Stasiun Manggarai.
Isu ini menarik untuk dikaji mengingat warga dianjurkan untuk lebih banyak menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi yang akan menambah macet jalanan dan polusi udara.
Berbasis lensa sosiologis, yang salah satunya berprinsip ”seeing the strange in the familiar” (mencari rahasia/sesuatu yang berharga, dalam hal yang tampak biasa), maka kondisi ini tentu bukan situasi biasa.
Perspektif Sosiologis memandang bahwa perilaku individu sangat dipengaruhi oleh dinamika dan perilaku masyarakatnya.
Pandangan sosiologis membangun asumsi untuk ”seeing personal choice in social context”, bahwa dalam setiap hal-hal yang terlihat seperti pilihan pribadi, itu (pasti) ada kekuatan sosial di belakangnya.
Maka, apakah kita yakin bahwa memilih moda transportasi umum seperti Komuter Line, MRT, Jak Lingko dan sebagainya adalah pilihan pribadi? Ataukah ada ’kekuatan sosial’ di belakangnya?
Nah, maka tentunya ada urgensi khusus mengkaji hal ini, untuk menghindari potensi permasalahan sosial lebih besar di kemudian hari.
Pembangunan sosial
Pembangunan Sosial (Wirutomo, 2022) menjelaskan bahwa pada hakikatnya adalah peningkatan kualitas kehidupan sosial yang mencakup norma dan nilai dalam pranata sosial yang menghasilkan pola interaksi, atau lebih dalam lagi pola relasi sosial (menyangkut hubungan kekuasaan), baik antar individu maupun antar kelompok.
Jadi (WIrutomo, 2022) pembangunan sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi sosialnya.
Perubahan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bahkan menciptakan kepincangan dan kesenjangan di dalam sistem sosial bukanlah pembangunan sosial dalam arti sebenarnya, karena justru telah memerosotkan mutu hubungan sosial dan interaksi sosial.
Maka pembangunan sosial secara umum merupakan salah satu agenda pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada warganya.
Sejumlah luaran dari hasil aktivitas pembangunan sosial antara lain adalah (1) social connectedness, yaitu kondisi di mana warga menikmati hubungan sosial yang baik dengan sesamanya, dapat bercengkerama satu dengan lainnya, serta dapat membangun kolaborasi produktif dengan sesama warga negara.
Selanjutnya (2) economic standard of living, yaitu kondisi kecukupan hidup, dan kebabasan finansial pada level tertentu, sehingga mereka dapat berfokus untuk mengembangkan dirinya (achieving self actualization) dan lain sebagainya.
Sehingga secara umum adalah tugas pemerintah untuk menghadirkan kenyamanan psikologis, kesempatan untuk berkinerja baik serta peluang untuk menjadi warga negara yang sehat secara mental psikologi.
Maka pekerjaan kita (dalam konteks pembangunan sosial) bukan hanya menyediakan moda transportasi yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lain, namun menyediakan kenyamanan yang membangun produktivitas kerja, serta interaksi sosial yang menghadirkan kenyamanan sosiologis.
Kesehatan mental
Kesehatan mental adalah satu terminologi yang memiliki multi definisi. The Surgeon General’s (2000) dalam (Kumara, 2012) memberikan batasan kesehatan mental sebagai berikut: ”mental health as the successful performance of mental functioning resulting in productive activities, fulfilling relationships with other people and the ability to adapt to change and cope with diversity”.
Maka ini adalah situasi di mana kondisi mental berfungsi dengan baik, mampu melakukan produktivitas dengan baik, membangun relasi sosial yang harmonis dan sebagainya.
Salah satu pengertian dari kesehatan mental (Zakiah Daradjat, dalam (Mulyadi, 2017)) adalah terhindarnya orang dari gelaja-gejala gangguan jiwa (neurose) dan gejala penyakit jiwa (psychose).
Jadi ini adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
Jelas, tentu tidak mudah menyelaraskan pembangunan fisik, dengan pembangunan sosial yang pada gilirannya memengaruhi kondisi kesehatan mental individu.
Namun demikian, diperlukan perhatian rutin terkait kondisi kesehatan mental warga negara. Apakah dalam kondisi normal, ataupun justru dalam kondisi yang mengarah pada gangguan jiwa (neurose) atau penyakit jiwa (psychose).
Ragam situasi dan dinamika kehidupan keseharian warga negara perlu selalu diperiksa, apakah tetap pada koridor yang menuju pada mental yang sehat ataupun malah sebaliknya.
Ragam unggahan di media sosial, baik yang bernada bercanda (meme) sampai bernuansa curhat (stress release) terkait kepadatan luar biasa di Stasiun Manggarai tentu jangan didiamkan begitu saja.
Ini harus dianggap sebagai sinyal peringatan awal (early warning) untuk segera dilakukan penyempurnaan layanan. Jangan menunggu sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama.
Kondisi psikologis pekerja kantoran secara umum tidak ingin terlambat dan memulai bekerja dengan perasaan positif, vibes yang antusias dan terhindar dari berbagai rasa takut dan cemas.
Namun demikian, dalam perjalanan ke kantor, ternyata mereka harus ’menyesuaikan’ dan beradaptasi dengan rute perjalanan (baru), berjuang berdesakan dalam lautan manusia menuju moda yang mengatar ke tujuan, serta (memastikan diri) tidak terlambat memasuki moda selanjutnya.
Kecemasan yang berlebih (anxiety) akan tertinggal moda, ketakutan mendapatkan surat peringatan jika terlambat, tentu dapat memengaruhi ’mood’ bekerja, serta keyakinan diri akan kemampuan dalam menangani tantangan pekerjaan sehari-hari (self eficacy).
Apalagi jika rute-rute favorit begitu cepat padat, sehingga harus menunggu (kembali) bermenit-menit untuk giliran transportasi selanjutnya.
Tidak ada kata terlambat
Tentu tidak ada kata terlambat. Pembangunan adalah proses yang panjang. Masih terbuka banyak peluang untuk perbaikan dan penyempurnaan.
Terbuka kesempatan untuk menjadi stasiun terpadu sebagai tempat yang produktif (connecting hub & co working space).
Masih terbuka kesempatan untuk menjadi stasiun terpadu Manggarai sebagai lokasi relaksasi hati (healing venue).
Masih terbuka peluang untuk membangun humanisasi terminal dan stasiun, sehingga seluruh penumpang dalam perjalanan berangkat ataupun pulang dapat memanfaatkan momentum perjalanan sebagai ’charger’ menuju tempat kerja ataupun menuju ke rumah.
Bukan hanya itu, dengan penataan yang semakin baik, aktivitas berangkat dan pulang kerja dapat menjadi stimulus baik dalam meningkatkan kualitas kesehatan mental warga.